Tubuh itu diangkat. Semua mata tak satupun mengedip, seakan
tak mungkin menyaksikan kejadian ini. Termasuk aku yang masih meraba-raba
tubuhku.
##
Naila mengusap air matanya, ketika dia tersadar dari
lamunannya. Diraihnya saputangan dari saku bajunya. Hanya aku yang melihat
kejadian itu, dari kejauhan. Tak mungkin saat itu aku menghampirinya, pikirku.
Biarlah dia tumpahkan kesedihannya..
Huh, sudah tahun kedua Naila selalu terlihat melamun
sendiri. Sangkaku dia masih memikirkan kejadian itu, dan mungkin semua orang
terdekatnya juga berpikiran sama denganku. Ya, aku tahu bagaimana perasaannya
walau dia tak pernah bercerita tentang kejadian itu pada siapapun. Memang,
sejak kejadian itu sifat periangnya hilang begitu saja. Seakan dunia ini tak
lagi buatnya tersenyum. Aku pun akhirnya sadar satu hal: betapa bodohnya aku!
##
“Eh, tugasku udah beres?”
“Gila, susah banget. Tapi, beres dong” Aku menyodorkan papernya.
Naila membuka tasnya, dan mengeluarkan bungkusan seperti
kado. Dia memberikannya padaku.
“Apa nih? Honor tugas?” Aku belum berani mengambilnya. Dia
menggeleng.
“Abis apa dong?” Aku mulai penasaran.
“Ambil aja dulu. Ntar bukanya di kosan aja. Kalo dibuka
disini, bisa merah mukaku.”
Akupun mengambil bungkusan itu, menimbang-nimbang sambil
menerka isinya.
“Yah, jangan digoyang-goyang dong.” Dia mengembangkan
senyumnya yang mengagumkan.
“Tapi kasih tau dong isinya.” Aku setengah memaksa karena
penasaran.
“Iya ntar aja ah, ga sabar banget.”
##
Naila lulus sebagai sarjana sastra dengan predikat
biasa-biasa saja. Sial, ini mungkin salahku juga. Padahal prestasinya selama
kuliah bagus, kecuali mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar yang sangat dibencinya
seperti di SMA ketika dia selalu bolos pelajaran Fisika. Katanya, ko di sastra
diajarin ilmu pasti sih? Waktu itu aku tidak komentar, walau aku sendiri
terdampar di kampus biru itu. seharusnya aku berada di lab Kimia atau kamar
bedah fakultas Kedokteran. Tapi demi wanita yang satu ini, entahlah. Aku
sendiri sempat berpikir, mengapa harus mengejar dia yang entah mau padaku atau
tidak. Tapi, entahlah.
##
Aku tepaksa bolos kuliah Spoken hari ini, karena ga sabar
ingin membuka bungkusan itu. semoga saja bukan kodok seperti kadonya di ultahku
tahun kemarin. Kita sudah sama-sama tahu binatang yang paling menjijikkan. Ya,
aku jijik sama kodok.
Entah bagaimana aku harus berucap, aku tertegun. Kulihat
lagi bola kristal itu. kemudian kutatap lagi sepucuk surat yang terindah yang pernah kudapat.
Penantianku selama ini berbuah manis.
##
“Boong ah, masa ga pernah?” dia menurunkan tangannya dari
pundakku.
Aku masih belum tersadar sebelum dia menepuk bahuku.
“Bener, sumpah!” kataku.
“Liat di TV?”
“Pernah. Tapi kalau udah gini, aku gat tau harus gimana.”
Wajahku makin memerah.
“Aku ajarin, mau?”
Aku mengangguk ragu.
Sebulan ini aku seakan di surga.
Entah apa pula yang ada di pikiranku saat itu. ya, entah.
Meski belum sepenuhnya terjadi, aku merasa hubungan ini seperti suami istri.
“Emang gini kalo pacaran?” tanyaku.
“Emang apa lagi?” Buatku itu pernyataan sekaligus
pertanyaan.
Aku pun tak tahu sampai kapan hal ini berlangsung. Aku
sendiri sudah mempersiapkan sejuta rencana untuk membahagiakannya jika kelak
dia jadi pendampingku. Tapi sekarang aku merasa rencana itu tengah terjadi.
“Kenapa sih, aneh!” suatu hari dia marah.
“Aneh kenapa?” Aku terbawa suasana.
“Iya, aneh aja.”
Aku masih belum mengerti yang dia ucapkan.
“Ada
yang aneh gitu?” Aku meraba-raba wajahku.
Dia tersenyum kecut.
“Ga pengen emang?”
“Pengen apa?” Aku semakin bingung.
“Iiih, gini nih kalo pacar baru pacaran.” Dia terus menggerutu.
Aku menariknya.
“Apa sih yang lagi diomongin?”
“Tau ah.” Dia mengenakan pakaiannya.
##
Naila masih tertegun ketika Sofi menghampirinya. Aku masih
mengamatinya, tapi kali ini agak dekat.
“La, makan yuk.”
“Males.”
Sofi menghirup nafas panjang. Kemudian duduk disampingnya.
“La, kalo lu kayak gini terus, gue takut lu kesurupan.
Lama-lama ga waras.”
Sepertinya kalimat itu sering diucapkan Sofi. Naila
mengusap wajahnya.
“Gue ga mau temen gue sedih. Udah dua tahun, La. Dua tahun.
Orang sepinter lu harusnya udah lulus. Kok lu masih aja mikirin itu sih?”
Naila memandang Sofi.
“Sof, masalah gue bukan cuma si Irman.”
“La, segede apapun masalah itu, kalo sampe dua tahun lu
pikirin terus itu gila. Eh, hati-hati kalo ngomong”
“Tau. Aku takut jatuhnya gara-gara aku.” Naila memalingkan
mukanya.
“Kan
udah gue bilang, si Irman itu jatuhnya karena dia ga pegang tali. Yu, makan.”
Naila masih menggeleng.
##
“La, kamu belum jelasin omongan kamu tempo hari.”
“Mau tau?” Matanya melotot.
“Kok ngotot gitu sih?” Aku mencoba sabar.
“Abis ga ngerti-ngerti sih. Nih!”
Aku kaget. Aku memang sering melihat barang itu. Tapi,
barang itu jatuh dari tangan Naila, wanita yang sangat agung di hatiku. Akupun
mecoba memikirkan kemungkinan lain dari maksud Naila. Tidak ada. Hanya itu. Ya,
pasti. Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal.
“Jadi….” Aku membuka obrolan lagi.
“Iya, kita kan
pacaran.” Naila memotong.
“Tapi aku ga berpikir sejauh itu, La. Aku ingin, ingin hal
ini terjadi kalau kita sudah menikah….”
“Apa?! Menikah? Siapa? Aku sama kamu? Hey, hey, bangun dong
pemimpi.”
Apalah daya, ucapan yang ingin kuucapkan ketika aku wisuda
kelak terucap saat ini. Lebih menyakitkan lagi, ternyata dia sama sekali tak
ada hasrat untuk menikah denganku. Padahal aku sudah berprasangka lain. Dia
benar, aku memang seorang pemimpi.
Naila bergegas pergi, meninggalkanku yang masih terhenyak.
##
Naila masih tidur, padahal pagi ini dia harus pergi ke
dokter. Semalaman aku menemaninya. Aku ingin ikut dalam mimpinya, tapi aku tak
bisa memejamkan mata. Wajahnya yang halus kuusap-usap semalaman. Tapi aku tak
tahu apakah dia merasakan belaianku.
“Naila, bangun dong sayang. Kamu kan harus kontrol.” Terdengan suara Tante
Mirna.
Naila masih tidur. Tante Mirna masuk.
“Sayang, ayo dong. Kalau ga ada kemauan dari kamu,
kemungkinan kamu sembuh kecil.” Tante Mirna mengusap rambut putrinya. Naila
membuka matanya perlahan.
“Mama, aku kan
udah bilang ke dokter atau engga tetep aja mati.” Naila memalingkan tubuhnya.
“Ssssttt, jangan ngomong kayak gitu dong. Itu mendahului
Tuhan, sayang.”
Naila berbalik lagi.
“Ma, aku ini positif HIV. Bentar lagi juga mati.”
“Naila, ga baik ngomong gitu. Ayo bangun ah. Papa udah
nunggu tuh.”
Naila akhirnya bangun. Aku masih tertegun di samping meja
belajarnya. Naila kena HIV?
##
“La, oke. Aku mau.”
Setelah seminggu tak berkomunikasi, Naila terlihat semakin
cantik. Andai saja Naila mau menunggu sampai akad nikah berlangsung, aku akan
sangat bahagia. Tapi aku juga tak mau kehilangan dia, bagiku hanya dia wanita
di muka bumi ini.
Malam itu Naila tidur di tempat kostku. Tak aneh memang
bagi penghuni lain, tapi bagiku ini terasa janggal.
“Udah bisa dong.” Naila memberikan senyuman itu lagi.
“Bisa apa?” Serius. Aku tak mengerti yang diucapkannya.
Naila agak cemberut.
“Sumpah. Aku ga ngerti.” Aku mengangkat jari tengah dan
telunjuk.
“Gini aja deh,” Naila membuka tasnya dan mengambil
buku,”Baca dan liat aja dulu. Lima
menit.”
Dulu aku ditawari buku itu oleh teman sekost. Katanya,
panduan bagi mereka yang ingin memuaskan pasangannya diatas ranjang.
Aku sama sekali tak membaca buku itu. walau mata melihat,
tapi pikiranku jauh melayang entah kemana. Seakan aku berada di tempat lain
yang belum pernah kujamah.
Ketika ku tersadar, Naila sudah ada di atas tempat tidurku.
Dia langsung menarik lenganku. Aku ikut.
“What?” Dia menghempaskan tubuhku. Aku kaget.
“Kenapa?”
Naila tak berkata lagi. Dia mengenakan pakaiannya dan langsung
pulang. Aku tampak bodoh malam itu.
Setelah kejadian itu, Naila sama sekali tak pernah
menghubungiku. Akupun tak bisa menghubunginya. Suasana itu membuatku hancur.
Aku laki-laki. Harus kuat. Tapi, aku manusia yang bisa mencinta. Aku kadang
berpikir aku terlalu cengeng untuk seorang lelaki. Tapi aku juga berpikir,
bertindak bodohkah aku bila aku mencintai seseorang dan dengan cara apapun aku ingin
memertahankannya?
Naila sudah punya pacar lagi. Aku sendiri tak tahu
bagaimana nasibku, rencanaku, dan segala mimpi tentangnya.
Aku semakin bodoh ketika, hari Senin saat itu, semua orang
memandang celanaku sambil mengangkat kelingkingnya.
##
Tubuh itu dimandikan. Ibuku terus-menerus menangisinya.
Jatinangor, 3 Desember 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar