Dari sekira 40 juta masyarakat
Sunda, berapa banyak yang masih aktif dan rela menggunakan bahasa Sunda sebagai
bahasa sehari-hari? Bila dirinci lagi, berapa orang yang menggunakan bahasa
Sunda sebagai bahasa penelitian ilmiah? Hal yang pernah dilakukan Saleh
Danasasmita dalam penelitian sejarah (Sunda), belum banyak diikuti oleh
peneliti lain. Titi Bachtiar belum secara gamblang menggunakan bahasa Sunda
dalam penelitian Geografi-nya. Masih perlukan keengganan menggunakan bahasa
Sunda? Ataukah wacana tentang pelestarian bahasa Sunda hanya ada dalam benak
dan tak sampai terealisasi?
Dalam orasi ilmiah Arif Rahman
ketika dilantik menjadi doktor di Universitas Indonesia dikemukakan, bahwa
bahasa ibu di Pulau Jawa dalam waktu dekat tidak akan terancam punah, tidak
seperti bahasa ibu di Papua yang begitu banyak dan kemungkinan punahnya terasa.
Merujuk orasi tersebut, sampai saat ini masyarakat Sunda masih bisa
bernafas lega. Setidaknya tidak sampai tergesa-gesa meributkan pelestarian
bahasa Sunda. Ya, dengan terus dibicarakan tentang kemungkinan punahnya, bahasa
Sunda masih bisa bertahan. Dengan menggembor-gemborkan pentingnya pelestarian
bahasa Sunda, bahasa Sunda pun masih bisa tersenyum, meski agak kecut.
Di mana letak permasalahan bahasa
Sunda sehingga tak banyak digunakan? Adakah kesalahan dalam pengajaran di
sekolah? Ataukah akibat dari pengaruh Jawa Mataram yang menanamkan berbagai
corak dalam bahasa Sunda? Menurut Ajip Rosidi, adanya pengaruh Jawa Mataram,
sebut saja undak-usuk basa, telah membuka keengganan orang untuk
berbicara dalam bahasa Sunda. Ketakutan akan salah dalam penempatan bahasa lemes
dan sedeng mengakibatkan orang mencari bahasa yang tidak mengatur
kata-kata: bahasa Indonesia. Lain halnya dengan Saini KM, yang menganggap undak-usuk
basa sebagai corak yang harus dipertahankan. Polemik pun timbul. Banyak
pihak yang menentang pendapat Ajip, meski tak sedikit yang mendukungnya. Bila
anak sekolahan ditanya, perlukah undak-usuk basa digunakan? Mungkin
sebagian besar dari mereka akan menjawab tidak perlu. Bila telah terjadi hal
yang demikian, apa yang harus dilakukan guru di sekolah? Terlebih bahasa Sunda
masih menjadi mata pelajaran yang belum dianggap setara dengan bahasa lain
(Inggris dan Indonesia).
Kompetensi dasar pengajaran bahasa Sunda di sekolah yang berkisar
antara ngaregepkeun, nulis, nyarita, dan maca belum bisa
dimaksimalkan penerapannya. Dalam kompetensi dasar ngaregepkeun (menyimak)
biantara (pidato), siswa diharapkan dapat menyusun isi pidato dengan
bahasa sendiri, dapat mencatat pokok-pokok isi pidato, dan seterusnya. Hal yang
perlu disimak adalah, hanya di dalam kelas siswa dapat menyimak pidato dalam
bahasa Sunda. Sementara ketika ia keluar kelas, tak ada lagi pidato dalam
bahasa Sunda. Apakah ini tidak akan menimbulkan keresahan, bahwa pengajaran ngaregepkeun
biantara hanya terjadi di dalam kelas? Ketika kompetensi selesai, maka
selesailah tanggung jawab dan aplikasi ngaregepkeun tersebut. Seharusnya
pidato-pidato dalam bahasa Sunda masih bisa ditemukan siswa di luar kelas,
sehingga mereka dapat terus mengaplikasikan apa yang mereka dapat di dalam
kelas.
Lain halnya dengan kompetensi nulis
surat. Dengan perkembangan teknologi seperti sekarang ini, apakah tidak
perlu aplikasi bahasa Sunda dalam SMS? Atau bahasa Sunda di internet (e-mail)
yang mempunyai pola berbeda dengan surat biasanya? Tentunya akan lebih menarik
apabila siswa diajak membahas hal yang mereka temukan dan alami sehari-hari,
sementara nulis surat telah banyak mengakibatkan pegawai pos hanya diam
di kantornya.
Perlunya keselarasan antara yang
diajarkan dan yang dialami sehari-hari oleh siswa dalam pengajaran bahasa
Sunda. Tugas berat bukan hanya terletak pada guru yang mengajarkan bahasa
Sunda, tapi pemerintah yang mengatur kurikulum. Bila hanya seadanya mengajarkan
bahasa Sunda di sekolah, maka bukan hal yang tidak mungkin perkiraan Arif
Rahman salah, yaitu dalam waktu tidak lama lagi bahasa akan masuk ke liang
kubur. Bila sudah demikian, banyak orang yang saling menyalahkan. Selagi
sempat, pola pengajaran bahasa Sunda harus dapat memenuhi keinginan waktu dan
bahasa Sunda itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar