Jumat, 20 Juli 2012

Mother Tongue: Apa Kabar?


Dari sekira 40 juta masyarakat Sunda, berapa banyak yang masih aktif dan rela menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari? Bila dirinci lagi, berapa orang yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa penelitian ilmiah? Hal yang pernah dilakukan Saleh Danasasmita dalam penelitian sejarah (Sunda), belum banyak diikuti oleh peneliti lain. Titi Bachtiar belum secara gamblang menggunakan bahasa Sunda dalam penelitian Geografi-nya. Masih perlukan keengganan menggunakan bahasa Sunda? Ataukah wacana tentang pelestarian bahasa Sunda hanya ada dalam benak dan tak sampai terealisasi?
Dalam orasi ilmiah Arif Rahman ketika dilantik menjadi doktor di Universitas Indonesia dikemukakan, bahwa bahasa ibu di Pulau Jawa dalam waktu dekat tidak akan terancam punah, tidak seperti bahasa ibu di Papua yang begitu banyak dan kemungkinan punahnya terasa. Merujuk orasi tersebut, sampai saat ini masyarakat Sunda masih bisa bernafas lega. Setidaknya tidak sampai tergesa-gesa meributkan pelestarian bahasa Sunda. Ya, dengan terus dibicarakan tentang kemungkinan punahnya, bahasa Sunda masih bisa bertahan. Dengan menggembor-gemborkan pentingnya pelestarian bahasa Sunda, bahasa Sunda pun masih bisa tersenyum, meski agak kecut.
Di mana letak permasalahan bahasa Sunda sehingga tak banyak digunakan? Adakah kesalahan dalam pengajaran di sekolah? Ataukah akibat dari pengaruh Jawa Mataram yang menanamkan berbagai corak dalam bahasa Sunda? Menurut Ajip Rosidi, adanya pengaruh Jawa Mataram, sebut saja undak-usuk basa, telah membuka keengganan orang untuk berbicara dalam bahasa Sunda. Ketakutan akan salah dalam penempatan bahasa lemes dan sedeng mengakibatkan orang mencari bahasa yang tidak mengatur kata-kata: bahasa Indonesia. Lain halnya dengan Saini KM, yang menganggap undak-usuk basa sebagai corak yang harus dipertahankan. Polemik pun timbul. Banyak pihak yang menentang pendapat Ajip, meski tak sedikit yang mendukungnya. Bila anak sekolahan ditanya, perlukah undak-usuk basa digunakan? Mungkin sebagian besar dari mereka akan menjawab tidak perlu. Bila telah terjadi hal yang demikian, apa yang harus dilakukan guru di sekolah? Terlebih bahasa Sunda masih menjadi mata pelajaran yang belum dianggap setara dengan bahasa lain (Inggris dan Indonesia).
Kompetensi dasar  pengajaran bahasa Sunda di sekolah yang berkisar antara ngaregepkeun, nulis, nyarita, dan maca belum bisa dimaksimalkan penerapannya. Dalam kompetensi dasar ngaregepkeun (menyimak) biantara (pidato), siswa diharapkan dapat menyusun isi pidato dengan bahasa sendiri, dapat mencatat pokok-pokok isi pidato, dan seterusnya. Hal yang perlu disimak adalah, hanya di dalam kelas siswa dapat menyimak pidato dalam bahasa Sunda. Sementara ketika ia keluar kelas, tak ada lagi pidato dalam bahasa Sunda. Apakah ini tidak akan menimbulkan keresahan, bahwa pengajaran ngaregepkeun biantara hanya terjadi di dalam kelas? Ketika kompetensi selesai, maka selesailah tanggung jawab dan aplikasi ngaregepkeun tersebut. Seharusnya pidato-pidato dalam bahasa Sunda masih bisa ditemukan siswa di luar kelas, sehingga mereka dapat terus mengaplikasikan apa yang mereka dapat di dalam kelas.
Lain halnya dengan kompetensi nulis surat. Dengan perkembangan teknologi seperti sekarang ini, apakah tidak perlu aplikasi bahasa Sunda dalam SMS? Atau bahasa Sunda di internet (e-mail) yang mempunyai pola berbeda dengan surat biasanya? Tentunya akan lebih menarik apabila siswa diajak membahas hal yang mereka temukan dan alami sehari-hari, sementara nulis surat telah banyak mengakibatkan pegawai pos hanya diam di kantornya.
Perlunya keselarasan antara yang diajarkan dan yang dialami sehari-hari oleh siswa dalam pengajaran bahasa Sunda. Tugas berat bukan hanya terletak pada guru yang mengajarkan bahasa Sunda, tapi pemerintah yang mengatur kurikulum. Bila hanya seadanya mengajarkan bahasa Sunda di sekolah, maka bukan hal yang tidak mungkin perkiraan Arif Rahman salah, yaitu dalam waktu tidak lama lagi bahasa akan masuk ke liang kubur. Bila sudah demikian, banyak orang yang saling menyalahkan. Selagi sempat, pola pengajaran bahasa Sunda harus dapat memenuhi keinginan waktu dan bahasa Sunda itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar