Jumat, 20 Juli 2012

Honorer, Bekerja atau Berbakti?


Di saat profesi guru menjadi idaman, terlebih menjadi pegawai negeri, tentulah profesional adalah syarat yang  harus dipenuhi, selain pedagogik, sosial, dan lain-lain. Dan sekilas pun terlintas, kehidupan yang cukup (meski relatif), pendapatan rutin per bulan, uang pensiun, dan sebagainya. Terlebih di saat tuntutan profesional menghasilkan uang, akan lebih banyak lagi mimpi-mimpi masyarakat Indonesia yang bergantungan pada profesi ini. Seakan pekerjaan/pengabdian sebagai guru bak gula bagi semut.
            Tak cukup banyak yang dianggarkan pemerintah untuk menggaji profesi yang digugu ditiru ini, mengingat pos lain pun menunggu alokasi. Meski pada kertas tertulis 20% anggaran pendidikan, toh belanja pegawai bukan satu-satunya pos. Karena pada akhirnya, kepentingan peserta didik yang lebih diutamakan. Demi menutupi kekurangan guru (anggaran), sekolah mengangkat tenaga pengajar pembantu atau honorer. Penentuan pengangkatan, kontrak, honor per bulan, ditentukan satuan pendidikan itu sendiri. Di sini tidak berlaku upah minimum kabupaten/kota, berserikat pun muncul akhir-akhir ini. Namun,  ada hal lain yang dirasa membanggakan ketika bekerja/mengabdi di sekolah, yaitu cap sebagai guru. Suatu pekerjaan/pengabdian yang sangat mulia. Bahkan mungkin ada yang berseloroh, “Tak peduli gaji, asal bisa ngehonor di sekolah.”
Undang-undang Guru dan Dosen mengisyaratkan bahwa, guru, PNS atau honorer haruslah profesional. Dan definisi profesional yang tertulis pada undang-undang tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
            Honorer mungkin saja diterjemahkan orang yang menerima honor atau upah, dan itu akibat dari adanya  pekerjaan yang telah dilaksanakan. Tak perlu ada supervisi terlebih dahulu dalam menerima upah, yang penting telah melaksanakan tugas. Sedang berbakti atau mengabdi, diartikan menghambakan diri. Dalam hal ini, tak perlu ada perdebatan tentang bawahan, hamba sahaya, atau menyekutukan Allah. Secara sepintas pun jelas, bahwa mengabdi berarti mengerahkan seluruh kemampuan jiwa raga dalam melaksanakan tugas.
            Kesan yang timbul ketika berucap bekerja - bagi penulis - adalah melaksanakan yang diperintahkan seraya berharap adanya timbal balik berupa upah. Entah ikhlas, entah tidak yang penting mendapat upah guna menyambung hidup. Seolah ada ketidakpedulian apakah tuntas, terlampaui, atau bahkan tidak tercapai, dan hal ini tentunya berpengaruh pada hasil. Objek pemelajaran tentunya peserta didik. Dan hasil yang diperoleh peserta didik bisa jadi dipengaruhi oleh gurunya.  Kalaupun ada penekanan bekerja sepenuh hati, mungkin itulah mengabdi. Bekerja, ya bekerja.
            Berbakti terasa jauh lebih “mendalam” dibandingkan bekerja. Meski keduanya menghasilkan timbal balik, tetap saja ada perbedaan. Dan perbedaan itu adakalanya menjadi halangan bagi guru honorer untuk berkarya atau melakukan sesuatu melebihi pegawai negeri. Hanya sebagai pelengkap agar peserta didik tidak berkeliaran saat jam pelajaran, mungkin. Ketika berbakti, penilaian akan datang bila bekerja “telah” sepenuh hati.
            Tapi, yang harus selalu diingat bahwa yang dihadapi oleh guru, honorer ataupun pegawai negeri, adalah peserta didik, bukan yang lain. Objeknya dinamis, naik-turunnya pola tingkah laku atau kognisi  adalah nyata. Bila hanya bekerja yang diartikan sekadar menggugurkan kewajiban, tak akan banyak hasil yang dicapai. Bahkan nol besar. Pun bila masih ada anggapan kumaha kecebur caina geletuk batuna baé dalam pemelajaran, bersiaplah menghadapi masa depan yang suram. Dan akibat pada saat ini, telah banyak kita saksikan di televisi. Tingkah laku yang banyak kita saksikan menjurus pada hal yang negatif, walau tak sedikit yang positif. Dan dalam jangka panjang, dapat pula kita saksikan dengan saksama.
            Pendidikan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah atau guru. Alangkah eloknya jika jatah yang harus diberikan kepada peserta didik oleh gurunya dapat dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Simpan status pegawai negeri atau honorer, dan bersama-sama fokus pada pementukan karakter peserta didik yang berdaya guna dan berhasil guna dengan memberikan keteladanan dan membangun kemauan. Demi keberhasilan, pun kebanggaan di masa datang. Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar