Di saat profesi guru menjadi idaman, terlebih menjadi pegawai negeri,
tentulah profesional adalah syarat yang
harus dipenuhi, selain pedagogik, sosial, dan lain-lain. Dan sekilas pun
terlintas, kehidupan yang cukup (meski relatif), pendapatan rutin per bulan,
uang pensiun, dan sebagainya. Terlebih di saat tuntutan profesional
menghasilkan uang, akan lebih banyak lagi mimpi-mimpi masyarakat Indonesia yang
bergantungan pada profesi ini. Seakan pekerjaan/pengabdian sebagai guru bak
gula bagi semut.
Tak cukup banyak yang
dianggarkan pemerintah untuk menggaji profesi yang digugu ditiru ini, mengingat
pos lain pun menunggu alokasi. Meski pada kertas tertulis 20% anggaran
pendidikan, toh belanja pegawai bukan satu-satunya pos. Karena pada akhirnya,
kepentingan peserta didik yang lebih diutamakan. Demi menutupi kekurangan guru
(anggaran), sekolah mengangkat tenaga pengajar pembantu atau honorer. Penentuan
pengangkatan, kontrak, honor per bulan, ditentukan satuan pendidikan itu
sendiri. Di sini tidak berlaku upah minimum kabupaten/kota, berserikat pun
muncul akhir-akhir ini. Namun, ada hal
lain yang dirasa membanggakan ketika bekerja/mengabdi di sekolah, yaitu cap
sebagai guru. Suatu pekerjaan/pengabdian yang sangat mulia. Bahkan mungkin ada
yang berseloroh, “Tak peduli gaji, asal bisa ngehonor di sekolah.”
Undang-undang Guru dan Dosen mengisyaratkan bahwa, guru,
PNS atau honorer haruslah profesional. Dan definisi profesional
yang tertulis pada undang-undang tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Honorer mungkin saja
diterjemahkan orang yang menerima honor atau upah, dan itu akibat dari
adanya pekerjaan yang telah
dilaksanakan. Tak perlu ada supervisi terlebih dahulu dalam menerima upah, yang
penting telah melaksanakan tugas. Sedang berbakti atau mengabdi, diartikan
menghambakan diri. Dalam hal ini, tak perlu ada perdebatan tentang bawahan,
hamba sahaya, atau menyekutukan Allah. Secara sepintas pun jelas, bahwa
mengabdi berarti mengerahkan seluruh kemampuan jiwa raga dalam melaksanakan
tugas.
Kesan yang timbul ketika
berucap bekerja - bagi penulis - adalah melaksanakan yang diperintahkan
seraya berharap adanya timbal balik berupa upah. Entah ikhlas, entah tidak yang
penting mendapat upah guna menyambung hidup. Seolah ada ketidakpedulian apakah
tuntas, terlampaui, atau bahkan tidak tercapai, dan hal ini tentunya berpengaruh
pada hasil. Objek pemelajaran tentunya peserta didik. Dan hasil yang diperoleh
peserta didik bisa jadi dipengaruhi oleh gurunya. Kalaupun ada penekanan bekerja sepenuh hati,
mungkin itulah mengabdi. Bekerja, ya bekerja.
Berbakti terasa jauh lebih
“mendalam” dibandingkan bekerja. Meski keduanya menghasilkan timbal balik,
tetap saja ada perbedaan. Dan perbedaan itu adakalanya menjadi halangan bagi
guru honorer untuk berkarya atau melakukan sesuatu melebihi pegawai negeri.
Hanya sebagai pelengkap agar peserta didik tidak berkeliaran saat jam
pelajaran, mungkin. Ketika berbakti, penilaian akan datang bila bekerja “telah”
sepenuh hati.
Tapi, yang harus selalu
diingat bahwa yang dihadapi oleh guru, honorer ataupun pegawai negeri, adalah
peserta didik, bukan yang lain. Objeknya dinamis, naik-turunnya pola tingkah
laku atau kognisi adalah nyata. Bila
hanya bekerja yang diartikan sekadar menggugurkan kewajiban, tak akan banyak
hasil yang dicapai. Bahkan nol besar. Pun bila masih ada anggapan kumaha kecebur
caina geletuk batuna baé dalam pemelajaran, bersiaplah menghadapi masa
depan yang suram. Dan akibat pada saat ini, telah banyak kita saksikan di
televisi. Tingkah laku yang banyak kita saksikan menjurus pada hal yang
negatif, walau tak sedikit yang positif. Dan dalam jangka panjang, dapat pula
kita saksikan dengan saksama.
Pendidikan tanggung jawab
bersama, bukan hanya pemerintah atau guru. Alangkah eloknya jika jatah yang
harus diberikan kepada peserta didik oleh gurunya dapat dilaksanakan dengan
penuh tanggungjawab. Simpan status pegawai negeri atau honorer, dan
bersama-sama fokus pada pementukan karakter peserta didik yang berdaya guna dan
berhasil guna dengan memberikan keteladanan dan membangun kemauan. Demi
keberhasilan, pun kebanggaan di masa datang. Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar