Sabtu, 04 Mei 2013

NEM dan NA



            Ujian Nasional segera datang, berbagai persiapan - baik oleh sekolah maupun peserta didik- sudah dimulai dari sekarang. Pengayaan, ujian sekolah praktik dan tulis, try out, dan sebagainya, menjadi agenda penting menjelang dilaksanakannya ujian nasional. Begitu menakutkankah sehingga ujian nasional sering dipandang sebagai (guru) killer?
            Ujian nasional hanyalah ujian, yang dilaksanakan secara nasional. Masalah bahasa hanya sampai di situ. Namun, masalah sesungguhnya bukan pada ungkapan ujian nasional-nya, melainkan pada esensi ujian itu. Pada POS UN tahun 2013, tercantum bahwa peserta didik dinyatakan lulus setelah menempuh dan akhirnya lulus berbagai ujian, termasuk ujian nasional. Meski bukan satu-satunya faktor kelulusan, tetap saja ujian nasional dianggap lebih penting ketimbang ujian sekolah yang nilainya bisa diatur. Sah? Mengapa tidak! Saat ini, ujian nasional mewajibkan peserta didik lulus ujian nasional dengan nilai terendah 5,5 untuk mata pelajaran yang diujinasionalkan. Itu pun setelah digabungkan dengan nilai sekolah. Lema mewajibkan itulah yang menjadi beban setiap peserta didik, bahkan sekolah.
            Standard pendidikan kita selalu mengacu pada negara yang memang tingkat pendidikannya sudah maju. Sebut saja: Finlandia. Semua orang bisa memandang Finlandia sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik, menjadi role model bagi pendidikan di negara lain karena memang dukungan pemerintahnya sangat baik. Perlu diingat, bahwa pendidikan yang baik bukan hanya dari guru yang setia mendampingi peserta didik menemukan karakter dirinya, tapi juga peran pemerintah, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya. Dalam benak pemerintah, mungkin, perlu ada standard untuk segala aspek pendidikan. O ya, itu harus. Kita bisa mengukur kemampuan dari acuan tersebut. Tapi, apakah hanya nilai kelulusan yang ada standardnya?
            Sering menjadi keluhan bagi sekolah yang berada di pelosok, bahwa fasilitas pendidikan kurang bahkan tidak memadai. Fasilitas tersebut termasuk guru yang mengampu mata pelajaran yang sesuai dengan kualifikasinya. Sepertinya pemerintah mengetahui hal ini, namun terkesan menutup mata dan telinga. Sedangkan, naskah ujian nasional sama bagi tiap sekolah, kota hingga pelosok. Ironi, nilai kelulusan sama, fasilitas berbeda. Tapi toh peserta didik di pelosok pun bisa lulus. Aneh? Tidak. Karena guru-guru di pelosok pun ternyata bisa mengajar apa yang guru di kota ajarkan kepada peserta didik. Akhirnya: nilai kelulusan di manapun di negeri ini sama. Itu pledoi pemerintah.
            Saya termasuk peserta didik yang mengandalkan diri sendiri dalam hal ujian. Apa yang kau tanam itu yang kau ketam, itu ibaratnya. Apa yang saya usahakan dalam belajar, semenjak kelas 1 sampai kelas 3, itu yang akan saya rasakan ketika melihat ijazah. Ada rasa malu, karena salahsatu nilai ebtanas, yang terkecil di sekolah. Itu dulu. Saat ini, saya bangga dengan nilai itu, karena memang itulah kemampuan saya. Apakah peserta didik saat ini juga akan merasakan apa yang saya rasakan? Semoga.
            Sebenarnya, dari Nilai Ebtanas Murni, bisa dijadikan bahan evaluasi agar kualitas pendidikan di sekolah menjadi lebih baik. Guru, kepala sekolah, staf, dapat mengacu pada hasil tersebut supaya di tahun selanjutnya nilai murni peserta didik meningkat. Sedangkan nilai akhir sangat bergantung kepada ‘kebijakan’ guru. Memang, kita memerlukan standard, namun apakah dengan standard itu guru menjadi kewalahan? Ketika NEM berlaku, guru hanya berucap: “Belajarlah lebih giat, agar nilaimu baik.” Sedang ketika nilai akhir menjadi acuan, guru mengutip ucapan Presiden Kennedy, ”Jangan tanyakan apa yang telah sekolah berikan padamu, tapi tanyakan apa yang telah kau berikan pada sekolahmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar