Ujian
Nasional segera datang, berbagai persiapan - baik oleh sekolah maupun peserta
didik- sudah dimulai dari sekarang. Pengayaan, ujian sekolah praktik dan tulis,
try out, dan sebagainya, menjadi agenda penting menjelang dilaksanakannya ujian
nasional. Begitu menakutkankah sehingga ujian nasional sering dipandang sebagai
(guru) killer?
Ujian
nasional hanyalah ujian, yang dilaksanakan secara nasional. Masalah bahasa
hanya sampai di situ. Namun, masalah sesungguhnya bukan pada ungkapan ujian nasional-nya,
melainkan pada esensi ujian itu. Pada POS UN tahun 2013, tercantum bahwa
peserta didik dinyatakan lulus setelah menempuh dan akhirnya lulus berbagai
ujian, termasuk ujian nasional. Meski bukan satu-satunya faktor kelulusan,
tetap saja ujian nasional dianggap lebih penting ketimbang ujian sekolah yang
nilainya bisa diatur. Sah? Mengapa tidak! Saat ini, ujian nasional mewajibkan
peserta didik lulus ujian nasional dengan nilai terendah 5,5 untuk mata
pelajaran yang diujinasionalkan. Itu pun setelah digabungkan dengan nilai
sekolah. Lema mewajibkan itulah yang menjadi beban setiap peserta didik, bahkan
sekolah.
Standard
pendidikan kita selalu mengacu pada negara yang memang tingkat pendidikannya
sudah maju. Sebut saja: Finlandia. Semua orang bisa memandang Finlandia sebagai
negara dengan kualitas pendidikan terbaik, menjadi role model bagi
pendidikan di negara lain karena memang dukungan pemerintahnya sangat baik.
Perlu diingat, bahwa pendidikan yang baik bukan hanya dari guru yang setia
mendampingi peserta didik menemukan karakter dirinya, tapi juga peran
pemerintah, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya. Dalam benak
pemerintah, mungkin, perlu ada standard untuk segala aspek pendidikan. O ya,
itu harus. Kita bisa mengukur kemampuan dari acuan tersebut. Tapi, apakah hanya
nilai kelulusan yang ada standardnya?
Sering
menjadi keluhan bagi sekolah yang berada di pelosok, bahwa fasilitas pendidikan
kurang bahkan tidak memadai. Fasilitas tersebut termasuk guru yang mengampu
mata pelajaran yang sesuai dengan kualifikasinya. Sepertinya pemerintah
mengetahui hal ini, namun terkesan menutup mata dan telinga. Sedangkan, naskah
ujian nasional sama bagi tiap sekolah, kota hingga pelosok. Ironi, nilai
kelulusan sama, fasilitas berbeda. Tapi toh peserta didik di pelosok pun bisa
lulus. Aneh? Tidak. Karena guru-guru di pelosok pun ternyata bisa mengajar apa
yang guru di kota ajarkan kepada peserta didik. Akhirnya: nilai kelulusan di
manapun di negeri ini sama. Itu pledoi pemerintah.
Saya
termasuk peserta didik yang mengandalkan diri sendiri dalam hal ujian. Apa yang
kau tanam itu yang kau ketam, itu ibaratnya. Apa yang saya usahakan dalam
belajar, semenjak kelas 1 sampai kelas 3, itu yang akan saya rasakan ketika
melihat ijazah. Ada rasa malu, karena salahsatu nilai ebtanas, yang terkecil di
sekolah. Itu dulu. Saat ini, saya bangga dengan nilai itu, karena memang itulah
kemampuan saya. Apakah peserta didik saat ini juga akan merasakan apa yang saya
rasakan? Semoga.
Sebenarnya,
dari Nilai Ebtanas Murni, bisa dijadikan bahan evaluasi agar kualitas
pendidikan di sekolah menjadi lebih baik. Guru, kepala sekolah, staf, dapat
mengacu pada hasil tersebut supaya di tahun selanjutnya nilai murni peserta
didik meningkat. Sedangkan nilai akhir sangat bergantung kepada ‘kebijakan’
guru. Memang, kita memerlukan standard, namun apakah dengan standard itu guru
menjadi kewalahan? Ketika NEM berlaku, guru hanya berucap: “Belajarlah lebih
giat, agar nilaimu baik.” Sedang ketika nilai akhir menjadi acuan, guru
mengutip ucapan Presiden Kennedy, ”Jangan tanyakan apa yang telah sekolah
berikan padamu, tapi tanyakan apa yang telah kau berikan pada sekolahmu.”